8.3.11

MUTIARA DARI PESANTREN





Oleh
Kotetz Sastrokusumo

Terinspirasi dari kisah nyata

Siang itu terasa sangat terik sekali, angin berhembus sangat kencang menampar dinding-dinding tembok tua dengan pasir yang diterbangkannya. Tak ada awan sama sekali, siang itu sangat cerah. Ia berdiri di depan makam tua, di sebuah ruangan di belakang Masjid bersejarah peninggalan zaman pemerintahan Umayyah yang berumur lebih dari 12 abad. Makam itu adalah makam orang yang termasyhur dalam sejarah perang salib, orang yang paling besar jasanya bagi agama islam, orang yang paling dipuji, ditakuti dan sangat disegani oleh rakyatnya serta oleh musuh-musuhnya.
Makam tua itu biasa saja, sederhana dan tidak terlalu mempesona, “kijingnya” lebih tinggi daripada makam-makam yang ada di Indonesia, bentuknya persegi panjang dan atapnya prisma segitiga dengan kain hijau yang menutupi seluruh permukaannya. Makam itu terlihat sangat kusam. Sepi dari peziarah. Ruangan itu menyembunyikan kesedihan yang mendalam bagi siapapun yang berada di sana. Sebuah makam di dalam ruangan sekitar 4 X 6 meter, bentuknya seperti kamar penjara. Warna-warnanya terasa asing baginya, cokelat muda dan abu-abu yang bergaris-garis. Cahaya yang masuk menambah kesan pudar. Sawang dan debu tampak sedikit tebal, meski karpet terhampar memenuhi ruangan. Mungkin jika di makam itu tidak terdapat tulisan yang menyebutkan sebuah nama, orang tidak akan pernah tahu bahwa di sinilah “Sultan Shalahuddin”, atau orang barat lebih mengenalnya sebagai “Saladin”, pahlawan Islam dalam Perang Salib, terkubur dalam keheningan dan kesendirian
Ia coba berdoa untuk arwah sultan Salahuddin, tapi tak satupun kata yang terucap dari mulutnya yang kering karena panas yang luar biasa saat itu. Apalagi Ia sedang berpuasa sunah hari kamis. Dan ini bulan Agustus, puncak-puncaknya udara panas di Damaskus.

Ia benar-benar tersiksa karena tubuhnya tak henti-hentinya mengeluarkan keringat meski dua kancing bajunya sudah dibuka dan sesekali surban dikepalanya terpaksa dibuat handuk, sementara tenggorokan terasa tercekik.
Ia hanya bisa pasrah dan bersabar, matanya tak henti-hentinya menjelajah seisi ruangan. Bukan kesakralan yang Ia rasakan saat itu, tetapi justru kesedihan yang mendalam ketika mengingat kembali sejarah kegagahan sultan Shalahuddin ketika berperang merebut kota Jarusalem. Sungguh ironis sekali bila dibandingkan dengan keadaan makamnya yang kini seolah membisu dalam keterasingan.
Sedikit kisah tentang sultan Saladin, beliau lahir dengan nama Shalahuddin Yusuf Ibn Ayyub di Tikrit, Ia terlahir di daerah dekat Sungai Tigris dari sebuah keluarga Kurdi. Beranjak dewasa Ia dikirim ke Damaskus, Suriah, untuk menimba ilmu kepada pamannya Nur ad-Din yang adalah seorang guru ilmu militer, seorang negarawan Seljuk dan pimpinan pasukan Shirkuh yang pernah dikirim ke Mesir untuk menghadang perlawanan Kalifah Fatimiyah pada tahun 1160.

Setelah sepuluh tahun berguru, akhirnya Sultan Salahuddin berhasil menaklukkan Mesir. Saladin juga berhasil memperbaiki perekonomian Mesir dan mampu mengorganisasi ulang kekuatan militernya. Sultan Shalahuddin akhirnya menjadi pendiri Dinasti Ayyubi serta mengembalikan ajaran Sunni ke Mesir.
Sultan Shalahuddin dikenal sebagai raja sekaligus panglima perang yang sangat ahli dalam strategi perang, pemimpin umat, dan sekaligus sosok yang santun dan penuh toleransi. Banyak manuskrip yang mencatat "Saladin Sang Raja Mesir" (Saladin, King of Egypt) sebagai simbol kekuasaan Eropa. Namanya tidak bisa dilepaskan dari Sejarah Perang Salib yang membawa kejayaan Islam, tanpa menindas kaum Kristiani.
Pada bulan Juli 1187, sultan Salahuddin menyerang Kerajaan Jerusalem dan akhirnya Sultan Salahuddin berhasil menaklukkan kota Jerusalem pada 2 Oktober 1187, 88 tahun setelah kaum Salib berkuasa. Ia berhasil mengeksekusi Raynald dan rajanya, Guy of Lusignan .

Sultan Salahuddin adalah raja yang selalu ikut berperang di garda depan bersama tentara muslimnya. Keberaniannya membuat Ia sangat disegani dan ditakuti oleh musuh-musuhnya. Berbagai medan pertempuran telah dialaminya, dan dalam setiap peperangan itu beliau selalu berpesan kepada pasukannya agar sedapat mungkin meminimalkan pertumpahan darah,hindari untuk melukai wanita dan anak-anak.
Perang Salib III menelan biaya yang tak sedikit dari kubu Kristen. Bahkan Inggris sampai mengucurkan dana bantuan yang dikenal dengan istilah 'Saladin Tithe' (Zakat melawan Saladin) untuk keperluan dana perang khusus melawan pasukan Saladin. Dalam suatu pertempuran, Sultan Salahuddin pernah berhadap-hadapan langsung dengan King Richard I dari Inggris di medan perang Arsuf pada tahun 1191. Di luar perkiraan, Saladin dan King Richard I justru saling berjabat tangan dan menghormat satu sama lain.

Kembali Ia mencoba berdoa di depan makam Salahuddin di kota Damaskus yang panas itu, berdoa untuk arwahnya, juga untuk menghormatinya sebagai salah satu pemimpin Islam terbesar yang sangat diagungkan semasa hidupnya.
Ia menundukkan kepala, menengadahkan kedua tangannya kemudian membaca surat Al Fatihah, doa Nur Nubuwah dan dilanjutkan dengan berdoa untuk Sultan Salahuddin, ditutup dengan membaca salawat Nariyah, Munjiyat ,Syifa’ dan doa sapu jagad. Saat itu Ia hanya sendirian, tak ada satu orangpun yang berada di dalam ruangan itu.
Ia melangkah keluar, berjalan kembali ke lapangan terbuka di halaman dalam masjid, beberapa saat kemudian Ia menjadi teringat ketika mendengar suara penziarah-penziarah Syiah meraungkan tangis, di dekat peninggalan Hussein yang gugur di Kerbala berabad-abad yang lalu.

Ia terdiam, kemudian mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya.
“Astaghfirullahaladziim..., engkaulah Dzat yang maha tahu lagi maha menjaga. Jagalah dan peliharalah keimananku ini yaa Allah. Tiada daya dan upaya kecuali pertolonganmu ya Allah” Bisiknya dalam hati.
Masa lalu memang tidak mudah pergi meskipun kita seperti tak ingin menengoknya atau mengingatnya kembali. Bahkan di salah satu tembok Masjid Umayyah yang dulu adalah Katedral Yahya Pembaptis yang disulap menjadi masjid yang indah di tahun 700-an itu, masih ditemukan sisa tulisan seperti berikut ini: "Kerajaan-Mu, ya, Kristus, adalah kerajaan abadi..." Tulisan itu belum terhapus, meski sudah berabad-abad yang lalu sultan Salahuddin menguasai Jerusalem. Benar-benar sikap toleransi yang sangat luar biasa dari seorang Saladin, penakluk kota Jarusalem yang agung!
Dari ruang makam sultan Salahuddin yang kusam itu, semuanya seakan nyata dan benar adanya. Kesederhanaan semasa hidupnya terbawa sampai sepeninggalannya. Namanya memang tak sebesar makamnya yang memang tidak besar atau tidak terlalu megah. Kisah Salahuddin atau Saladin adalah kisah peperangan dahsyat setelah perang uhud di jaman Rasullullah Muhammad SAW.

Kisah Saladin yang tersebar baik di Barat maupun di Timur dari sejarah Perang Salib yang panjang di abad ke- 12 itu adalah kisah tentang seorang pemberani dalam pertempuran yang memiliki pemikiran brillian dan hati seperti emas yang berkilauan.
Satu hal menarik yang membuat kita bangga memiliki pahlawan Islam seperti Sultan Salahuddin adalah ketika menjelang penyerbuan pasukan islam ke jantung kota Jarusalem, Sultan Salahuddin memberi kesempatan penguasa Kristen kota itu untuk menyiapkan diri agar mereka bisa melawan pasukannya secara terhormat. Dan ketika pasukan Kristen itu akhirnya kalah, Sultan Salahuddin tidak menjadikan penduduk Nasrani sebagai budak-budak. Sultan Salahuddin justru membebaskan sebagian besar dari mereka, tanpa dendam sedikitpun, meskipun pasukan Perang Salib ketika merebut Jerusalem dulu di tahun 1099 telah membantai 70 ribu orang muslim yang mendiami kota itu dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke Sinagog untuk dibakar. Sultan Salahuddin memaafkan kaum kristen yang sudah dalam keadaan tak berdaya saat itu. Sungguh kepemimpinan sultan Salahuddin adalah inspirasi bagi semua orang yang pernah mendengar tentang kisahnya.

"...Jangan tumpahkan darah... sebab darah yang terpercik tak akan tertidur." Demikian pesan terakhir sultan Salahuddin kepada putranya “Az-Zahir” menjelang kemangkatannya.
Peristiwa yang juga paling berkesan adalah ketika pemimpin pasukan Islam itu bersikap baik kepada Raja “berhati Singa”Richard dari Inggris yang bermaksud untuk mengalahkannya. Ketika raja Richard sakit dalam pertempuran, Sultan Salahuddin mengirimkan buah pir yang segar dingin dalam salju, dan juga seorang dokter untuk raja Richard. Begitu juga saat sultan Shalahuddin mengetahui raja Richard kehilangan kuda tunggangannya, ia memberikan dua ekor sebagai gantinya.
Karena kebesaran hati sultan Salahuddin saat itu, raja Richard merasa sangat takjub dan baru menyadari bahwa lawannya memang bukan orang yang sembarangan. Ia benar-benar seorang pemimpin yang sangat bijaksana dan pantas saja jika namanya menjadi buah bibir raja-raja di Eropa saat itu. Akhirnya perdamaian pun ditandatangani tepat pada tanggal 1 September 1192.Di medan perang itu, keduanya sepakat berdamai. Bahkan adik Richard dinikahkan dengan saudara Sultan Shalahuddin.
Tak lama setelah kepergian Richard dari Jerusalem, sultan Shalahuddin atau Saladin yang termasyur itu wafat pada tahun 1193 di Damaskus. Sultan Salahuddin hidup hanya 55 tahun, tetapi nama besarnya lebih panjang daripada umurnya. Nama Saladin harum di seantero dunia hingga sampai saat ini. Bukan hanya kalangan Muslim, kalangan non-Muslim juga sangat menghormatinya.

Orang-orang Eropa sangat takjub akan kehebatan sultan Salahuddin. Bagaimana agama Islam bisa melahirkan orang sebaik itu? Kita mungkin sekarang juga takjub bagaimana masa lalu bisa melahirkan orang sebaik itu. Mungkinkah akan ada lagi orang-orang seperti Sultan Salahuddin? Wallahualam.
Pemakaman Sultan besar yang juga sebagai pahlawan islam itu berlangsung sangat sederhana karena saat kotak penyimpanan harta Sultan Salahuddin dibuka, ahli warisnya tidak menemukan cukup uang untuk membiayai pemakamanannya, karena semasa hidupnya Sultan Shalahuddin selalu hidup sederhana dan selalu mendermakan hartanya kepada kaum yang membutuhkan.

Demikianlah kabar perjuangan dari salah satu pahlawan islam yang pernah hidup dan besar di masanya bahkan sampai menembus di masa kini.
Ia masih berdiri terdiam di depan ruangan makam sultan Salahuddin. Sesaat kemudian Ia memandang ke arah langit. Tampak langit yang membiru tanpa awan dengan cahaya matahari yang sangat terik menyilaukan matanya. Tiupan angin membuat jubah dan surbannya berkibar terus seperti hendak lepas dan terbang. Suara adzan menyeruak merobek langit yang membisu, nadanya sangat memilukan. Ia memandang kembali kedalam ruangan kusam itu, ada rasa haru, takjub dan kesedihan yang bercampur di dadanya, Ia merasakan ada yang lain ketika membandingkan dengan makam-makam orang besar yang lainnya.

“Kalau saja kau di lahirkan dan wafat di tanah orang-orang bodoh pasti makam mu akan dipuja bahkan mungkin disembah. “ Bisiknya dalam hati.
Ia memetik hikmah ternyata kuburan memang bukan “altar” untuk tempat pemujaan yang akan menjerumuskan kita kedalam jurang kesyirikan, makam memang hanya sebuah pertanda kesementaraan hidup di dunia, juga keterbatasan seorang pahlawan sehebat apapun dia. Makam hanya sebuah tanda, simbol atau pengingat ketidak kekalan manusia.
Dari makam pahlawan Islam itu, Ia kembali menuju masjid Jami’ Umayyah untuk menunaikan shalat Dhuhur. Masjid yang besar dan megah, luasnya sekitar 150x100m. Dindingnya penuh dengan hiasan kaligrafi dan lantainya beralas keramik dari dalam sampai ke halamannya. Mungkin ini adalah masjid terbesar di jamannya, Di sebelah timur masjid itu terdapat makam dimana kepala nabi Yahya AS dikuburkan. Tepatnya di bawah tiang masjid yang dikenal dengan tiang “Sakaakik”, letaknya di shaf kedua dekat ruangan mihrab masjid.

Nabi Yahya AS meninggal karena disembelih di usianya yang ke sembilan puluh lima tahun oleh kaum Yahudi. Badan beliau dipercaya dikuburkan di Palestina. Sementara lengan-lengan beliau dikuburkan di Beirut dan kedua kaki beliau di kuburkan di Shida.

Ia tampak sangat serius mendengarkan penjelasan dari pemandu yang kembali menemaninya beberapa saat setelah Ia keluar dari dalam ruangan makan sultan Salahuddin. Hanya mendengarkan, tak ada satu katapun yang terucap dari mulutnya. Sesekali sang pemandu sedikit bingung dan tersinggung tapi kemudian kembali mencoba untuk mengerti.
Ia langsung masuk ke dalam masjid, sedangkan sang pemandu lebih memilih duduk di luar masjid. Saat itulah Ia berani bertanya kepada sang pemandu.
“Tidak shalat.........?”
“Maaf....saya lagi berhalangan”
Tanpa menjawab apa-apa lagi, Ia segera bergegas masuk dengan terburu-buru menaiki anak tangga.

Kembali,
Seusai menunaikan shalat Dzuhur Ia langsung menuju pusat kota Damaskus, lewat pasar Hamiddiyeh yang sibuk. Saat itu Ia hanya berdua dengan pemandu yang adalah mahasiswi Indonesia semester dua yang sedang kuliah di Universitas Damaskus Fakultas Syari’ah, dan memang ditugaskan oleh sahabat ayahnya khusus untuk menemaninya keliling kota Damaskus. Sang pemandu orangnya sangat supel, cerdas, tipe perempuan yang berbicara cepat dan sepertinya memang sangat paham sejarah dan budaya Kota Damaskus, selain itu dia juga sangat cantik. Itu sudah terlihat dari tatapan matanya yang bening dan memancarkan cahaya kemuliaan. Dari awal perkenalan, sang pemandu tak pernah berhenti menjelaskan segala sesuatu yang diketahuinya tentang kota Damaskus. Meski sedikit bosan dan terganggu dengan ocehannya, Ia merasa cukup senang karena bisa lebih mengenal kota Damaskus dan masyarakatnya. Ia sama sekali tak menunjukkan ketertarikan sedikitpun kepada sang pemandu yang bercadar itu, Ia hanya tertarik pada penjelasannya saja tak lebih. Ia memang tipe laki-laki dingin dan sangat pendiam. Ya...begitulah Lintang!

“Damaskus ,dalam bahasa arab disebut Dimasyiq , atau juga disebut Asy-Syama adalah ibukota negara Suriah atau Syiria, negara tertua di dunia yang dihuni sejak 2000 tahun SM. Sebuah kota dengan menara-menara masjid yang menjulang tinggi-tinggi. Kota Damaskus merupakan salah satu kota tertua di dunia, selain Al-Fayyum dan Gaziantep” Demikian sang pemandu menjelaskan dengan penuh semangat sambil berjalan. Sementara Lintang hanya mendengarkan sesaat kemudian kembali memalingkan muka.
Di dalam kerumunan orang-orang yang bergerak sibuk dalam pasar tradisional yang sangat padat itu, Ia berjalan sangat terburu-buru sekali menuju jalan raya agar bisa sesegera mungkin kembali ke dalam mobil dan cepat-cepat pulang, sang pemandu bahkan sampai beberapa kali terjatuh menabrak kerumunan orang karena tak terbiasa berjalan cepat.

“Hey.....tunggu...jangan cepat-cepat!”Teriak sang pemandu sambil sibuk membenahi cadarnya yang tersibak karena terjatuh.
Lintang berhenti sejenak, memandang wajah sang pemandu kemudian kembali berjalan lebih cepat lagi.

Lintang baru menyadari bahwa ayahnya pasti sudah lama menunggu. Sore itu sebenarnya Ia harus segera bergegas untuk kembali pulang ke Indonesia bersama ayahnya. Meski hanya satu hari di Damaskus, Ia masih menyempatkan diri untuk datang ke makam Sultan Salahuddin karena jarang-jarang Ia bisa ke Damaskus. Saat itu hanya kebetulan saja. Setelah pulang dari Makkah seusai menjalankan ibadah Umroh berdua dengan ayahnya, kemudian ayahnya memutuskan untuk singgah satu hari di Damaskus karena ingin mengunjungi sahabatnya yang tinggal disana. Seorang Syech besar yang memiliki ribuan murid dari berbagai negara. “Syech Muhammad Asad Al Iraqi” namanya. Lintang hanya sekali saja melihatnya, ketika Syech Asad datang berkunjung kerumahnya di kota Bangkalan- Madura. Dan itu sudah sepuluh tahun yang lalu.
Akhirnya setelah melalui jalanan yang padat dan panas, Lintang sampai juga di rumah Syech Asad. Ayah Lintang sedang berbincang bersama Syech Asad di ruang tamu saat itu.

Syech Asad adalah sahabat ayah Lintang semasa menuntut ilmu di Universitas Damaskus. Kini beliau sudah diangkat menjadi guru besar di sana, sekaligus merangkap sebagai dosen di Yayasan Pendidikan Syaikh Ahmad Kaftaro dan Universitas Al fatah Al islamiyyah. Sedangkan ayah Lintang KH. Muhammad Saud Al Fateh, lebih memilih mendirikan pondok pesantren di kota kecil Bangkalan-Madura menjalankan amanah dari ayahnya.

Syech Asad sudah menikah tiga kali, namun sudah tiga kali juga isterinya meninggal. Dari tiga kali pernikahannya, beliau belum dikaruniai anak. Sampai kini Syech Asad tidak pernah menikah lagi. Karena itu, Syech Asad kini mengangkat 40 anak yatim menjadi anaknya dan kini tinggal bersama di rumahnya yang megah. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya rumah Syech Asad setiap harinya.

Syech Asad berasal dari India, Beliau adalah keturunan Arab-India, namun sangat fasih berbahasa Indonesia. Kulitnya putih bersih, badannya sangat tinggi tegap dan janggutnya sangat lebat. Namun kedua matanya buta karena terkena ledakan bom sewaktu beliau ikut berperang di Palestina melawan tentara zionis Israel. Namun meskipun beliau buta, hatinya tidak buta. Beliau bisa berjalan normal meski tanpa ada orang yang menuntunnya. Beliau bahkan bisa mengenali seseorang hanya dari suaranya saja. Syech Asad bukan ulama sembarangan. Beliau memiliki karomah yang sudah sering disaksikan oleh sahabat-sahabatnya. Salah satu karomah yang pernah disaksikan oleh ayah Lintang adalah ketika Syech Asad menyuarakan adzan di masjid Bangkalan sepuluh tahun yang lalu. Saat itu listrik sedang padam, namun suara Syeh Asad bisa tetap menggema bahkan sangat lantang sampai terdengar ke seluruh pelosok kota. Peristiwa itu sempat mengejutkan seluruh warga kota Bangkalan.

Mengenai kebutaan mata Syech Asad, ayah Lintang pernah berpesan “Jangan bersedih hanya karena kau kehilangan matamu, masih jauh lebih baik daripada kehilangan keimananmu. Kau seharusnya justru bersyukur karena ada hadist yang mengatakan
“Dari Anas ra, dia berkata, :Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt berfirman: Jika aku menguji hamba-Ku dengan mengambil kedua kecintaannya lalu ia bersabar, maka Aku akan menggantinya dengan surga”. Maksud dari kedua kecintaannya yaitu dua penglihatannya. Hadist ini sahih dan diriwayatkan oleh Bukhari.

Ketika mendengar pesan dari ayah Lintang saat itu, Syech Asad menitiskan air mata, kemudian memeluk tubuh ayah Lintang. Kejadian itu saat Syech Asad dan ayah Lintang masih sama-sama menjadi mahasiswa di Universitas Damaskus dulu.
Kalau sedang berbicara dengan siapapun, Syech Asad selalu mengurai janggutnya dengan jari-jari tangannya sambil mendengarkan dengan seksama seakan tak ingin melewatkan satu katapun dari lawan bicaranya. Dan yang sangat spesial dari beliau adalah selalu murah senyum dan selalu menghargai dan menghormati terhadap siapapun. Wajahnya selalu ramah dan tak pernah sekalipun murung atau terlihat susah. Menurutnya semua itu Ia lakukan karena merupakan sunnah Rasul, termasuk membiarkan jenggotnya tumbuh lebat secara alami.

“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”
Lintang langsung bersalaman dengan Syech Asad dan ayahnya. Sementara sang pemandu berdiri tepat di belakang Lintang. Mereka berdua segera duduk disamping ayah Lintang.

“Ini anakku Lintang” Ucap Kyai Saud.
Saat pertama kali tiba di rumah Syech Asad, Lintang sempat terkejut dan merasa asing melihat sosok Syech Asad. Sepuluh tahun yang lalu janggutnya masih hitam, kini sudah hampir semuanya memutih dan semakin panjang. Sama persis dengan ayahnya. Namun satu hal yang masih sama, beliau tetap memakai jubah dan surban putih, juga tasbih dari kayu yang selalu melekat di tangannya dan tak pernah berhenti diputar setiap saat.

“Bagaimana...? asyik kan kota Damaskus?” Ucap Syech Asad.
“Benar-benar kota bersejarah yang indah, syech....!”Jawab Lintang singkat.
“Oh iya....kalian sudah berkenalan kan?ini adalah mahasiswi terbaikku, Ia juga salah satu anak angkatku yang ke tujuh. Dia juga berdarah Indonesia, ibunya orang Surabaya dan ayahnya orang Arab. Bagaimana..........?Lintang anaknya asyik kan ?”
“Iya...Syech...” Falihah menjawab sambil memandang dan melemparkan senyum ke arah Lintang dari balik cadarnya yang tipis. Seperti biasa Lintang hanya diam dengan ekspresi datar.

“Kalau kamu ingin napak tilas Sultan Shalahuddin, seharusnya kamu juga datang ke kota Kairo Mesir. Disana ada benteng yang dibangun oleh Shalahuddin Ayubi pada tahun 1183 M untuk mengawasi kota Kairo dari bukit Mukattam. Di sekitar benteng itu terdapat beberapa peninggalan sejarah, seperti Masjid Alabaster, Masjid Sulaiman Pasha dan Dinding Yosep. Ajaklah ayahmu kesana. Biar nanti Falihah aku suruh menemanimu kembali”
Lintang hanya tersenyum dan menatap kearah Falihah, kemudian segera berpaling ke arah ayahnya yang hanya tersenyum hambar.

Cukup lama mereka berbincang, sampai menjelang waktu ashar. Setelah menunaikan shalat Ashar berjamaah, Lintang dan ayahnya berpamitan pulang.
Selama berada di rumah Syech Asad yang megah itu, Lintang dan ayahnya merasa seperti seorang raja. Mereka diperlakukan bak tamu agung yang mengunjungi istana raja. Menjelang pulang, Syech Asad sempat berpesan kepada ayah Lintang
“Jangan lupa, esok kirim saja anakmu kesini. Biar dia aku didik dengan sebaik-baiknya. Semua keperluannya biar aku yang menanggung.” Ucap Syech Asad dengan tatapan yang ramah sambil bersalaman dengan ayah Lintang.

“Insya Allah kalau Lintang sudah kuanggap siap” Jawab ayah Lintang mantap.
Sementara Lintang hanya tersenyum saja meski sebenarnya Ia tidak begitu mendengarkan pembicaraan keduanya karena sibuk mengamati lantai marmer, perabotan mewah, dinding-dinding kokoh yang dihiasi tulisan kaligrafi dan lampu kristal yang menggantung sangat indah di rumah Syech Asad yang sangat megah itu.


------------***---------------


SEBUAH DINASTI

Selamat datang di sebuah dinasti kecil...!
Miniatur kerajaan dengan kekuasaan absolut yang dipegang oleh satu orang pemimpin dengan kekuasaan yang hanya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang bernama syariat Islam dengan sumber dari segala sumber hukumnya adalah Al quran dan Hadist. Kekuasaan seorang raja dipercaya berasal dari Tuhan dan didapatkannya dari garis keturunan. Sistem pemerintahan kerajaan ini mirip “Monarkhi” tapi juga ada unsur “Sosialisme”,dan sedikit aroma “ Demokrasi”. Sebuah miniatur kerajaan kecil bernama “Pondok Pesantren BABUR ULUM”.
Raja bergelar “Syech” atau “Kyai” atau “Gus”. Kedudukan dan kekuasaannya tidak dapat diganggu gugat. Punya permaisuri dan beberapa selir yang bergelar “Nyai”. Putra mahkotanya bergelar “Bindêrêh”. Untuk menjalankan pemerintahannya sang raja dibantu oleh beberapa Rakyan atau menteri yang dikepalai oleh sang Perdana menteri yang bergelar “Khadam”. Rakyatnya adalah para santri yang tunduk dan sangat mengagungkan rajanya. Mereka semua belajar ilmu dan bekerja untuk raja dan keluarganya, sisanya sedikit untuk kebutuhan mereka sendiri.
Sebagai seorang raja, hidupnya sangat berkecukupan dan berlimpah kehormatan juga kemuliaan. Dari dirinya sendiri sampai keluarganya, semua pasti dihormati oleh rakyatnya karena adanya unsur kemuliaan yang turun menurun dari generasi ke generasi. Adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi rakyat atau para santri jika dapat menatap dan berbicara langsung dengan sang raja atau keluarganya apalagi sampai mencium tangannya. Itu adalah berkah yang tak ternilai. Sang raja sedikit sekali terlihat bekerja di siang hari, hanya melayani tamu dari luar yang memiliki hajat bermacam-macam. Dari pekerjaan, jodoh, jabatan, petunjuk, dukungan atau restu mungkin juga ilmu kesaktian. Karena di sepanjang malam pekerjaan utama sang raja adalah beribadah, berwirid kepada Allah SWT untuk menjaga kharismanya.
Bagi para santri, dapat melayani raja dan keluarganya adalah sebuah kebanggaan dan berkah tersendiri. Saat berbicara dengan sang raja, mereka berpantang untuk menatap wajahnya sebab menurut keyakinan mereka, pasti mereka tak akan kuat memandang sinar kemuliaan yang terpancar dari wajah sang raja. Karena itu, memandang wajah sang raja dianggap sebagai hal yang tabu untuk dilakukan. Saat mendengar khotbah atau berbicara dengan sang raja, mereka pasti menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil membuka telinga dan hati lebar-lebar, sebab setiap perkataan sang raja adalah hikmah yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang bening saja. Demikian pula untuk masuk atau sekedar melewati rumah tempat tinggal sang raja dan keluarganya tanpa maksud yang jelas, adalah hal yang sangat terlarang bagi para santri.
Kewajiban para santri adalah mengabdi dan belajar sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Apabila sang kyai menilai seorang santri sudah cukup ilmunya, maka sang santri tersebut diperbolehkan untuk pulang dan mengamalkan ilmunya kepada masyarakat luas. Para santri ada yang belajar dan mengabdi hanya beberapa bulan saja, ada yang bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun bahkan ada juga santri yang memilih untuk mengabdi sepanjang hidupnya untuk sang kyai dan keluarganya.
Ini adalah sebuah dinasti kecil, miniatur kerajaan dimana setiap maksud dan keinginan sang raja tak boleh dipertanyakan apalagi untuk ditentang. Rakyat hanya bisa tunduk dan menurut saja. Merah kata raja adalah merah kata rakyat, lawan..!! kata raja, berarti lawan sampai mati bagi rakyatnya. Aroma demokrasi hanya sedikit sekali, itupun hanya untuk kalangan keluarga sang raja sendiri dan menteri-menteri kepercayaannya sementara rakyat tidak memiliki hak berpendapat sama sekali. Hal itu sangat kuat terasa ketika sang raja berkhotbah dihadapan rakyatnya, meski ada sejuta pertanyaan dihati rakyat namun tak satupun rakyat yang berani mengungkapkan pendapatnya, mereka lebih memilih diam dan meng-Iyakan semua ucapan yang terlontar dari mulut sang raja sekalipun itu sebenarnya bertentangan dengan bisikan dalam hati rakyat.
Meski begitu, kekuasaan dan kemuliaan sang raja juga dipengaruhi oleh ilmu yang dimilikinya. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki sang raja, maka semakin kuat pula kharisma yang dipancarkannya sehingga turut mempengaruhi pengabdian rakyat kepadanya. Ilmu itulah kunci kemuliaan bagi sang raja, tanpa itu Ia akan kehilangan kharisma dan kewibawaan meskipun sebenarnya masih tetap dihormati karena latar belakang keturunannya. Ilmu itu adalah ilmu agama dan ilmu kesaktian yang disebut juga dengan “kharomah”. Untuk mendapatkan ilmu agama yang tinggi mungkin semua santri bisa, tapi untuk mendapatkan ilmu kharomah tidak sembarang orang bisa karena ilmu kharomah itu dipercaya sebagai anugerah langsung dari Allah dan hanya Allah yang bisa mencabutnya kembali. Itulah yang membedakan antara sang raja dan rakyat biasa.
Sebagai sebuah kerajaan kecil, maka tidak berdiri sendiri. Sang raja memilih menjalin hubungan kerja sama antar kerajaan atau pondok pesantren yang lain untuk menghimpun kekuatan. Perkumpulan para raja-raja tersebut terhimpun dalam sebuah perkumpulan agung bernama “majelis” dan diketuai oleh raja yang dianggap paling tinggi ilmunya atau paling besar kekuasaan dan kemuliaannya. Dalam majelis itulah sebuah imperium besar terbentuk menjadi satu kekuatan raksasa yang siap melawan segala sesuatu yang dianggap dapat merugikan kepentingan para raja atau agama.


BABUR ULUM


Pukul 02.00 dini hari.
Suara-suara bising mulai bergema di dalam pondok pesantren yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Pondok pesantren yang terlihat sederhana tapi memiliki 1000 lebih santri. Ada yang berasal dari kota sendiri, luar kota, bahkan sampai dari luar pulau segala. Terakhir pernah juga kedatangan 2 santri yang berasal dari negeri Suriah.

Pondok Pesantren “BABUR ULUM” terletak di pinggiran kota santri Bangkalan-Madura, di tepi pantai tepatnya. Pondok pesantren yang beraliran Salafiah atau tradisional itu memang sangat terkenal keberadaannya. Selain karena pengasuhnya sendiri yang cukup disegani juga karena pondok pesantren ini sering melahirkan ulama-ulama muda yang terkenal lantang menyuarakan dan memperjuangkan ide penerapan syariat Islam ke dalam tatanan negara.

Ayah Lintang, KH. Muhammad Saud Al Fateh adalah pendiri pondok pesantren itu 20 tahun yang lalu. Beliau adalah seorang ulama besar yang sangat dikenal dan disegani oleh masyarakat Madura, selain karena ilmunya yang tinggi dan seorang yang hafal Al Quran, beliau juga terkenal karena sikap revolusionernya yang menyebabkan beliau harus sering berurusan dengan pihak aparat sebab kritik-kritik pedasnya terhadap pemerintah.

KH. Muhammad Saud Al Fateh adalah putra pertama dari mantan bupati Sumenep KH. Ahmad Sarkawi yang bergelar K.A (KI Ageng) karena beliau masih keturunan dari keluarga Keraton Sumenep. Sama dengan putranya, KH. Ahmad Sarkawi juga seorang ulama besar yang sangat terkenal. Hafal al Quran dan hadist-hadist sahih, juga dikenal sebagai pemimpin yang berani dan miskin.Meski menjabat sebagai bupati Sumenep selama hampir 25 tahun, beliau tidak meninggalkan harta kekayaan berupa apapun untuk anak dan isterinya selain hanya beberapa kitab-kitab tua asli dari negeri Arab dan hasil tulisan tangan KH. Ahmad Sarkawi sendiri. Kini semua kitab itu tersimpan dalam museum di kota Sumenep karena dianggap memiliki nilai sejarah.
Pondok pesantren BABUR ULUM tidak sebesar pondok pesantren Tebu Ireng atau Darut Tauhid. Luasnya hanya seluas lapangan sepak bola saja, itu sudah termasuk bangunan masjid megah di tengahnya, rumah sederhana keluarga Kyai di samping kanan masjid, perpustakaan dan ruang belajar para santri yang bertingkat tiga di samping kiri masjid , sebuah halaman kosong yang dipenuhi pohon waru, pepaya dan camplong di depan masjid serta jajaran pondok-pondok kecil dari kayu tempat para santri tinggal yang dipenuhi pohon pisang berada tepat di belakang masjid. Sementara di samping kanan dan kiri pondok pesantren tersebut adalah tambak ikan milik Kyai Saud dan di belakang pondok tersebut adalah areal pemakaman umum yang cukup luas.

Sudah hampir setahun pondok pesantren ini menjadi buah bibir nasional dan setiap hari selalu ada saja wartawan yang berkunjung. Ada yang benar-benar wartawan ada juga yang menyamar sebagai seorang wartawan atau bahkan menjadi seorang santri, padahal sebenarnya hanya seorang intel yang ditugaskan untuk mengawasai kegiatan pondok BABUR ULUM ini. Terlepas dari itu semua, Kyai Saud selalu menemui dan menjamu mereka dengan baik dan ramah. Tanpa menaruh curiga sedikitpun beliau tetap menganggap semua tamu yang berkunjung adalah raja. Baginya, meskipun seorang penjahat sekalipun kalau dia berniat bertamu harus kita layani dengan sebaik-baiknya. Demikianlah Rasul mengajarkan bahwa kita wajib melayani tamu dengan sebaik-baiknya selama tiga hari berturut-turut, meski tamu menginap sudah lebih dari tiga hari kita masih tetap harus melayani tamu dengan sebaik-baiknya hanya saja apa yang kita berikan dianggap sebagai sedekah bukan lagi sebagai kewajiban. Tamu yang datang sebenarnya adalah utusan Allah secara tak langsung.

Kyai Saud dituduh sebagai seorang teroris karena sikap kontroversialnya kepada pemerintah selama ini. Kritik-kritik tajam dan seruan berjihad kepada para kaum muslim telah mengantarkan beliau sebagai ulama yang paling disegani di seluruh Madura. Hampir semua kyai Madura mendukung perjuangan beliau. Salah satu bentuk perjuangannya adalah mengajak semua masyarakat Madura untuk menolak pembangunan jembatan SURAMADU (Surabaya-Madura) karena dianggap akan merusak kebudayaan asli masyarakat Madura sebab pengaruh dari peradaban kota besar yang beliau anggap sebagai peradaban kaum kafir..!

Malam dini hari, suasana pondok pesantren “Babur Ulum” sudah sangat sibuk. Semua santri sudah bangun dan berebut mengambil air wudlu untuk segera bergegas menuju masjid. Kyai Saud sudah menunggu di dalam masjid, beliau memang tak pernah tidur semalam suntuk.Entah apa yang dikerjakannya,dulu pernah ada santri yang secara tak sengaja terbangun di malam hari dan menyaksikan Kyai Saud sedang duduk di dalam masjid sendirian sambil berbicara seperti sedang memimpin sebuah rapat besar yang sangat penting. Si santri saat itu benar-benar penasaran, kemudian Ia menghampiri Kyai Saud dan menyapa dengan salam. Alangkah terkejutnya si santri ketika Ia mendengar jawaban salam seperti suara dari ribuan orang. Ketika si santri hendak pergi karena merasa takut, Kyai Saud memanggilnya dan memberitahukan kepadanya bahwa beliau sedang berkhotbah di hadapan para Jin. Begitulah cerita yang sampai saat ini beredar di kalangan santri, kisah itu seakan menjadi pembuktian dari salah satu karomah yang dimiliki oleh Kyai Saud.

Suara-suara binatang malam, angin laut dan desiran ombak seakan turut mengisi kesibukan pondok pesantren yang mulai ramai dengan suara-suara tahlil. Setelah menjalankan shalat sunnah Tahajjud, para santri berkumpul untuk berdzikir bersama-sama. Malam-malam di pondok pesantren “Babur Ulum”benar –benar sangat sakral dan mengharukan. Tidak hanya para santri, penduduk sekitar juga sering datang ke masjid untuk shalat tahajjud dan mendengarkan ceramah dari Kyai Saud yang dipercaya mengandung barokah bagi siapapun yang mendengarnya.
Setelah Dzikir selesai, Kyai Saud segera duduk di depan para jamaah untuk memberikan ceramahnya.

“Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

Jawaban salam dari ratusan santri dan beberapa jamaah dari masyarakat sekitar tiba-tiba membahana dari dalam majid megah yang memecahkan keheningan malam saat itu.

“Alhamdulilah kita masih diberkahi rahmat dan hidayah oleh Allah SWT, sehingga kita masih bisa melaksanakan shalat Tahajjud dan dzikir bersama. Ini adalah suatu nikmat yang harus selalu kita syukuri, karena saat ini mungkin banyak umat muslim yang tertidur lelap, bekerja, atau sedang melakukan maksiat hingga tidak bisa mengerjakan shalat Tahajjud. Shalat Tahajjud itu adalah suatu macam amal yang senantiasa dijadikan “Amalan Wirid” oleh Rasulullah SAW, para sahabat, ulama dan shalihin”

Suara Kyai Saud benar-benar membius para jamaah. Rasa kantuk seakan lenyap. Jamaah laki-laki dan jamaah perempuan seakan membisu dan tak ada satu orangpun yang berani berbicara atau saling berbisik satu sama lainnya.

“Berkali-kali saya ingin menegaskan bahwa janganlah sekali-kali meninggalkan shalat Tahajjud karena pahala dan faedah dari shalat Tahajjud ini sangat besar. Sebagaimana Allah menegaskan dalam Al Quran surat Al Isra; ayat 79 yang artinya: Hendaklah engkau gunakan sebagian waktu malam hari, maka Tahajjud sebagai tambahan bagimu mudah-mudahan Allah memberikan padamu kedudukan yang baik. Demikian juga dalam hadist riwayat muslim, Rasulullah SAW bersabda: Perintah Allah turun ke langit dunia di waktu tinggal sepertiga yang akhir dari waktu malam. Lalu berseru, adakah orang-orang yang berdoa pasti akan kukabulkan, adakah orang yang meminta, pasti akan kuberikan dan adakah yang mengharap atau memohon ampunan, pasti akan kuampuni baginya, sampai tiba waktu subuh. Demikian hadist rasullullah SAW mengenai shalat Tahajjud. Shalat Tahajjud memiliki banyak faedah bagi siapapun yang mengerjakannya, diantaranya adalah wajahnya akan memancarkan cahaya keimanan, akan dipelihara oleh Allah dirinya dari segala macam marabahaya, setiap perkataannya mengandung arti dan diturut oleh orang, akan mendapatkan perhatian dan kecintaan dari orang-orang yang mengenalnya, dibangkitkan dari kuburnya dengan wajah yang bercahaya, diberi kitab amalnya di tangan kanannya, dimudahkan hisabnya dan berjalan di atas shirath bagaikan kilat.

Demikianlah keistimewaan dari shalat Tahajjud akan memberikan manfaat kesenangan dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Sekali lagi jangan sekali-kali meninggalkan shalat Tahajjud”
Kyai Saud membalik badan ke arah kiblat kemudian menengadahkan kedua tangannya ke atas dan berdoa. Sementara seluruh jamaah mengamininya secara serentak. Malam yang sunyi, saat itu terasa semakin sakral.

Lintang yang saat itu berada di barisan shaf paling depan, tampak larut dalam kekhusyukan.

-----------------------------------

Pagi hari setelah melaksanakan shalat subuh berjamaah, suasana pondok pesantren BABUR ULUM seakan tiba-tiba saja menjadi sibuk. Sebagian santri perempuan ada yang bertugas menyapu halaman, ada yang menyirami tanaman, ada yang membersihkan ruang kelas, ada yang pergi ke pasar dan ada yang sudah mulai membakar kayu untuk memasak. Sementara sebagian santri laki-laki ada yang membersihkan kamar mandi, menimba air dari sumur, membelah kayu untuk kayu bakar dan sebagian ada yang pergi mengurus tambak milik Kyai Saud. Semua santri bekerja saling bergotong royong dengan semangat yang tinggi.

Apabila matahari sudah mulai sedikit naik, kira-kira pukul 07.00. Semua santri segera sibuk antri untuk mandi, kemudian sarapan pagi bersama-sama. Makanan di pondok itu semuanya dibuat oleh para santri sendiri karena itu terkadang mereka harus rela makan nasi setengah matang atau setengah menjadi bubur. Lauknya pun hanya sebatas tahu dan tempe, kadang-kadang saja ikan laut dan itupun kalau tambak Kyai Saud sedang panen saja. Untuk sayur biasanya para santri mengambil sayuran dari kebun yang mereka tanam sendiri seperti kangkung, daun singkong , daun pepaya atau daun kelor. Menjadi santri di pondok pesantren BABUR ULUM memang memerlukan kesabaran dan keteguhan yang ekstra.

Tepat pukul 08.00, semua santri baik laki-laki maupun perempuan sudah harus berkumpul di dalam masjid untuk melaksanakan shalat sunnah Dhuha berjamaah. Sebab menurut Kyai Saud, shalat Dhuha akan melapangkan rizki dan memudahkan kita dalam mempelajari ilmu Allah. Selain itu, shalat Dhuha banyak sekali keutamaannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadist riwayat Tirmidzi : Barangsiapa yang melaksanakan shalat dhuha sebanyak dua belas rakaat maka Allah akan membangunkan untuknya istana di surga yang terbuat dari emas. Dan barangsiapa yang senantiasa melaksanakan shalat dhuha maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan. Demikian pula dalam hadist riwayat Muslim, Rasulullah mengatakan : Bahwasannya setiap anggota kalian bisa bersedekah, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, dan semua itu bisa dicukupkan dengan dua rakaat yang dilakukan pada waktu dhuha.

Setelah melaksanakan shalat Dhuha, para santri masuk kedalam kelas masing-masing untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Masing-masing kelas dibedakan sesuai dengan tingkatan ilmu yang dipelajari oleh santri. Ada yang masih tingkat dasar, yakni mempelajari ajaran dasar agama Islam, sejarah agama islam, bahasa arab, membaca dan menulis huruf arab. Ada yang khusus mempelajari hukum-hukum Islam, al Quran dan Hadist. Ada yang khusus mempelajarai ilmu fikih, falaq,dan Al jabar. Dan untuk tingkatan yang paling atas adalah khusus mempelajari ilmu tasawuf. Ilmu tertinggi yang diajarkan adalah ilmu tarekat dan makrifat, namun hanya santri terpilih saja yang bisa mempelajarinya. Semua kegiatan pembelajaran dilakukakan oleh santri senior yang ditunjuk oleh Kyai Saud sendiri sebagai ustad. Namun untuk kelas yang paling atas, yakni yang sudah pada tahap mempelajari ilmu tasawuf, tarekat dan makrifat biasanya Kyai Saud sendiri yang akan mengajar para santrinya.

Kegiatan pembelajaran berlangsung dari pagi sampai menjelang siang hari. Sore hari setelah melaksanakan shalat ashar, para santri diwajibkan untuk membaca surat Al Waqiah dan Ar Rahman agar selalu dilimpahi rizki dan rahmat oleh Allah SWT. Setelah itu, sambil menunggu waktu magrib biasanya para santri mengisinya dengan bermain dan berolahraga sementara yang lain ada yang lebih memilih untuk belajar atau tidur.
Menjelang magrib, kesibukan di dalam pondok akan terasa kembali. Para santri kembali harus bergegas mandi dan bersiap menuju masjid untuk melaksanakan shalat magrib berjamaah, berdzikir, mendengar ceramah Kyai Saud hingga menunggu waktu shalat isya’. Baru setelah pukul 08.00 malam, para santri diperbolehkan untuk beristirahat. Namun para santri lebih memanfaatkan waktu luang tersebut untuk jalan-jalan keluar pondok, nonton TV di rumah penduduk sekitar, karena di dalam pondok para santri dilarang membawa TV atau hanphone sebab akan mengganggu kekhusyukan dalam belajar maupun beribadah, ada yang memilih untuk belajar, ada yang lebih suka mengobrol di dalam kamar masing-masing, ada yang memilih untuk langsung tidur hingga menjelang tengah malam nanti. Di saat-saat itulah biasanya Kyai Saud akan berjalan berkeliling mengamati para santrinya untuk mengetahui siapa santri yang rajin dan siapa santri yang malas.

Kegiatan sehari-hari para santri di pondok pesantren BABUR ULUM memang sangat padat dan ketat sekali, karena itu sering kali ada saja santri yang kabur melarikan diri dari pondok sebab merasa tak kuat atau tidak betah belajar di dalam pondok pesantren tersebut. Apabila sampai terjadi hal demikian, Kyai Saud biasanya akan menugasi seorang santri kepercayaannya untuk menjemput kembali santri yang melarikan diri ke rumahnya. Jika tidak mau, Kyai Saud tidak akan memaksa lagi. Berarti Ia belum mendapatkan hidayah atau petunjuk dari Allah SWT, demikian keyakinan Kyai Saud.

Meski Kyai Saud terkenal sebagai orang yang sangat disiplin, namun Ia bukanlah sosok yang otoriter kepada santrinya, Kyai Saud adalah sosok yang bijaksana, penyabar, rendah hati dan tegas. Kehidupan sehari-hari Kyai Saud sangat sederhana, Ia sering sekali berpuasa, jarang sekali makan enak, setiap hari selalu memakai sarung dan surban di kepalanya, juga tasbih kayu yang tak pernah berhenti diputar selalu melekat di tangannya. Gaya bicaranya sangat santun kepada semua orang termasuk kepada para santrinya, namun ketika sedang berceramah suaranya sangat lantang, tegas dan berani. Sikap seperti itulah yang membuatnya disegani dan dihormati oleh para ulama juga santri-santrinya.

Selain dikenal sebagai seorang ulama terkenal dan pengasuh pondok pesantren BABUR ULUM, kyai Saud juga terkenal sebagai penulis kitab yang cukup diperhitungkan. Diantara kitab-kitab karangannya bahkan ada yang sudah menjadi koleksi perpustakaan Universitas-universitas islam terkemuka di dalam maupun di luar negeri. Kitab karangannya yang cukup terkenal adalah salah satu kitabnya yang berisi tentang seruan kepada seluruh umat muslim untuk berjihad menegakkan kembali syariat Islam di muka bumi ini.

Kyai Saud memang tak pernah berkompromi kepada siapapun yang berani memusuhi Islam. Ia bahkan berani bentrok secara fisik jika memang diperlukan. Hal itu pernah terjadi ketika Pemerintah kota Bangkalan berniat akan mengadakan pesta dangdut di alun-alun kota untuk menyambut hari jadi kota Bangkalan sekaligus merayakan keberhasilan meraih piala Adipura untuk yang pertama kalinya. Namun karena acara tersebut bersamaan dengan acara pengajian yang juga akan diadakan tak jauh dari alun-alun kota, maka Kyai Saud menegur pihak pemerintah untuk membatalkan acara pesta dangdut tersebut.Teguran pertama, kedua sampai yang ketiga tak juga mendapatkan respon positif dari pihak pemerintah kota Bangkalan saat itu.
Pemerintah tetap mengadakan acara pesta dangdut tersebut, dan hal itu membuat Kyai Saud tersinggung. Akhirnya Kyai Saud bersama dengan Kyai-kyai lainnya sepakat mengerahkan para santrinya untuk membubarkan acara pesta dangdut yang rencananya akan digelar sangat megah dan meriah tersebut. Ketegangan antara para kyai Bangkalan dengan pihak pemerintah sudah menjadi hal yang biasa terjadi.

Akhirnya, beberapa saat selepas adzan Isya’ berkumandang, tiba-tiba saja para santri yang berjumlah ribuan orang berkumpul di alun-alun kota dengan pakaian biasa layaknya orang yang pergi menonton pesta dangdut. Masyarakat yang hendak menonton pesta dangdut segera berhamburan membubarkan diri seakan sudah mencium ada sesuatu yang tidak beres.

Satu orang keluar dari kerumunan para santri dengan membawa sebuah obor yang menyala, berpakaian jubah serba hitam dengan kaos dalam bergaris merah dan putih khas pakaian orang Madura. Orang itu adalah kyai Saud yang menyamar. “Allahu akbar.....Allahu akbar.......Allahu akbar” kyai Saud meneriakkan takbir tiga kali dan diikuti oleh para santrinya. Obor dilemparkan ke arah panggung, masyarakatpun berhamburan berlarian tak tentu arah. Tanpa aba-aba, para santri langsung bergerak serentak menyerbu panggung dan membubarkan acara tersebut, karena mendapat perlawanan dari pihak aparat keamanan, para santri justru semakin tersulut emosinya dan menghancurkan segala sesuatu yang ada. Dalam sekejap, panggung yang megah itu hancur dan hangus terbakar. Kerusuhan melebar sampai ke tengah kota, fasilitas umum kota juga tak luput dari amukan massa yang terdiri dari gabungan santri dan masyarakat umum yang mendukung tindakan para kyai dan santri. Kota Bangkalan saat itu sangat mencekam dan tiba-tiba saja seperti berubah menjadi medan pertempuran. Berkali-kali terdengar suara tembakan di udara, namun ratusan aparat keamanan seakan tak berdaya menahan emosi massa yang semakin tak terkendali ditambah jumlah massa yang terlalu banyak. Mobil pemadam kebakaran yang hendak memadamkan apipun hangus dibakar, pos polisi hancur lebur, kantor walikota juga tak luput dari sasaran kerusuhan, beruntung tak ada korban tewas pada saat itu, karena sebelumnya kyai Saud memang berpesan kepada santrinya untuk tidak melukai satu orangpun. Kerusuhan berlangsung sampai menjelang pagi hari dan berakhir ketika adzan subuh berkumandang. Peristiwa kerusuhan itu benar-benar membuat nama Kyai Saud langsung melejit baik dimata masyarakat maupun di mata pemerintah.

Kyai Saud memang termasuk seorang ulama yang sangat berani menentang pemerintah. Siapapun yang melecehkan umat muslim pasti akan dihancurkannya. Meski sering kali berbuat anarkis dengan para santrinya, Kyai Saud tak pernah bisa dipenjarakan karena tuduhan telah berbuat kerusuhan atau memprovokasi massa tidak pernah bisa dibuktikan, kyai Saud sangat pandai berkelit dan membela diri. Apalagi beliau juga paham bahwa kota Bangkalan yang bisa dibilang sebagai kota santri pasti akan membela kepentingan agamanya daripada kepentingan pemerintah. Dalam setiap aksinya, Kyai Saud selalu menyamar sebagai masyarakat biasa,demikian pula para santrinya juga disuruh untuk memakai pakaian biasa. Sehingga sulit untuk mengenali siapa yang telah berbuat kerusuhan. Aparat keamanan tentu saja dibuat bingung mana yang santri mana yang masyarakat biasa.

Selain terkenal akan keberaniannya, kyai Saud juga dikenal sebagai seorang ulama yang sangat cerdik dan sangat hati-hati dalam bertindak. Selain perjuangan secara fisik, beliau juga berjuang lewat ceramah dan karya tulis. Hampir setiap minggu, beliau tak pernah absen berkeliling pulau Madura untuk menjadi penceramah dalam acara pengajian akbar yang biasa digelar oleh kyai atau tokoh masyarakat setempat. Buku dan artikel-artikelnya yang berisi kritikan-kritikan pedas terhadap pemerintah juga sudah bertebaran dimana-mana, tak terhitung lagi jumlahnya. Kyai Saud seperti sebuah mesin cetak yang tak pernah berhenti mencetak karya-karya besar.

-------------***------------------


PUTRA MAHKOTA

Muhammad Lintang Kemukus Al Azhar, lahir di kota kecil Bangkalan-Madura. Bertepatan dengan munculnya “Lintang Kemukus” atau bintang berekor , sementara para ilmuwan lebih sering menyebutnya sebagai “komet”. Karena kelahirannya ditandai dengan peristiwa yang sangat langka, kyai Saud yakin bahwa kelak putranya akan menjadi orang yang besar. Apalagi hari kelahirannya tepat pada hari senen, persis seperti kelahiran nabi Muhammad SAW. Karena itu, kyai Saud memberi nama depan putranya “Muhammad’ sebab hari kelahirannya sama dan juga memang sudah merupakan sunah rasul untuk memberi nama depan setiap anak laki-laki dengan nama Muhammad atau Ahmad. Nama ” Lintang Kemukus” diambil karena saat kelahirannya ditandai dengan munculnya komet atau lintang kemukus, sebuah pertanda akan terjadi peristiwa besar yang menggemparkan. Sementara “Al Azhar” berarti yang bersinar terang.

Lintang lahir bak seorang pangeran atau putra mahkota yang memang sudah sangat ditunggu-tunggu kedatangannya. Perlakuan istimewa sudah dirasakannya semenjak Ia baru lahir, kecil, remaja dan beranjak dewasa sampai saat ini, baik oleh orang tuanya maupun oleh orang-orang yang mengenal siapa ayahnya.

Sejak kecil, hal-hal luar biasa memang sudah nampak pada diri Lintang. Di usianya yang masih baru menginjak 3 tahun, Ia sudah bisa mengaji Al quran dan di usia 5 tahun, Lintang kecil sudah hafal 15 Juz Al Quran. Baru setelah usia 7 tahun, Ia akhirnya hafal Al Quran 30 Juz penuh. Pada usia 12 tahun, Lintang sudah hafal kitab-kitab karangan Muhammad Al Gazali, kitab Riyadush Salihin dan kitab Al Hikam yang memang sangat terkenal dikalangan kehidupan pondok pesantren. Kharismanya sudah mulai nampak sejak Ia masih kecil. Sejak itu, banyak para kyai-kyai sepuh yang meramalkan bahwa kelak Lintang akan menjadi seorang ulama yang besar. Bahkan pernah ada yang sampai menyebutkan suatu saat nyawa Lintang akan ditukar oleh 100 nyawa yang memang rela dengan ikhlas mengorbankan nyawanya untuk pemimpin yang diagungkannya. Ramalan itu cukup membuat kyai Saud merasa khawatir. Namun itu hanya sebuah ramalan saja, belum tentu benar karena semuanya yang menentukan tetap Allah SWT. Demikian kyai Saud meyakini.

Sepanjang masa kecil sampai remaja, Lintang tak pernah menyukai bangku sekolah, sering sekali Lintang keluar masuk sekolah. Baik di pondok pesantren asuhan ayahnya sendiri, pondok pesantren orang lain sampai sekolah formal sekalipun tak pernah membuatnya betah untuk belajar , Ia suka sekali tertidur di kelas atau membolos sekolah. Ia benar-benar lebih suka belajar sendiri dari membaca, berhitung dan mempelajari ilmu agama secara otodidak dengan sedikit bantuan sang ayah. Bagi Lintang, sekolah adalah hal yang sangat membosankan dan membuang-buang waktu saja, karena Lintang merasa apa yang diajarkan di sekolah, semuannya sudah ada di otaknya. Semua orang meyakini bahwa Lintang dianugerahi “Ilmu Laduni” oleh Allah SWT. Ilmu agung tiada bandingnya yang hanya diberikan pada orang-orang pilihan saja. Dan memang pada kenyataannya, Lintang adalah anak genius yang serba bisa dan cepat sekali memahami ilmu tentang apapun.

Lintang adalah anak yang cerdas dan sangat berbakti kepada orang tuanya, meski sering membuat marah orang tuanya karena tingkah lakunya yang aneh-aneh, tak pernah sekalipun Ia melawan kepada orang tuanya. Apabila dimarahi, Ia lebih suka pergi dan menghindar. Sejak kecil Lintang sangat tekun sekali belajar dan beribadah, sedikit sekali Ia menggunakan waktu bermain atau bergaul dengan teman-temannya. Ia lebih suka menyendiri di dalam rumahnya yang tenang dan damai. Hal itu membuatnya sedikit memiliki teman dan sulit untuk bersosialisasi.Tapi itu tak membuatnya khawatir karena memang Ia lebih memilih buku-buku untuk dijadikan sebagai temannya.

Buku-buku agama, ilmu pengetahuan dan sastra semua Ia lahap habis. Lintang seorang pengagum berat Buya Hamka, untuk itu Iapun mengoleksi tafsir lengkap Al Azhar dan buku-buku karya Buya Hamka lainnya. Sedikit demi sedikit akhirnya karya-karya Hamka turut mempengaruhi pola pemikiran Lintang. Perlahan Ia menjadi seorang muslim yang moderat namun ajaran garis keras warisan ayahnya juga masih cukup kuat.
Di usianya yang baru menginjak 15 tahun, Lintang sudah memberanikan diri untuk kuliah. Ia berhasil masuk di Universitas Islam Negeri Malang mengambil “Ilmu Tarbiyah”melalui jalur khusus atas inisiatif dan bantuan dari ayahnya yang memang memiliki banyak kolega. Di kampusnya, tentu saja Lintang membuat heboh para dosen pengajarnya juga teman-temannya. Hampir setiap materi yang disajikan dosen, Lintang dapat dengan mudah menjelaskan dengan lebih jelas, detail dan mendalam. Ia sangat jarang masuk kuliah namun setiap kali ujian, Lintang selalu mendapat nilai terbaik diantara teman-temannya.

Baru 2 semester Ia menimba ilmu, Lintang merasa tidak betah karena Ia merasa ilmu yang diajarkan di kampusnya sudah Ia pahami semuanya dan Ia memilih untuk keluar saja. Sejak saat itu Lintang lebih suka mengajar di pondok pesantren milik ayahnya. Lintang kembali hidup selayaknya seorang putra mahkota yang menunggu saat-saat Ia menaiki tahta. Namun dalam hati kecil Lintang, sebenarnya Ia menolak semua perlakuan orang-orang disekitarnya yang memperlakukannya bak seorang pangeran di negeri antah berantah. Seringkali Ia merasa asing dengan dirinya sendiri, Ia merasa muak dan bosan dengan orang-orang di sekitarnya. Hati kecilnya berkata bahwa hidupnya bukan untuk dimuliakan tapi Ia yang seharusnya memuliakan orang lain yang dianggapnya lebih pantas untuk diperlakukan secara mulia. Ia merasa bukan putra mahkota, Ia bukan anak seorang raja, dan Ia bukan hidup dalam sebuah kerajaan. Ia ingin lebih dari itu semua, Ia ingin bebas melakukan apa yang diyakininya. Ia merasa takdirnya bukan di sini.

Hari demi hari, Lintang semakin merasa terasing dan sangat kesepian. Tapi Ia cukup pandai menyembunyikan perasaan itu kepada semuanya. Ia mencoba bersikap sewajarnya saja. Setiap kali ada tamu yang ingin menemui ayahnya, Ia selalu memperhatikan apa maksud tujuannya datang. Ternyata kebanyakan dari mereka bukan untuk mencari ilmu atau meminta pendapat, tapi hanya untuk kepentingan duniawinya sendiri. Memanfaatkan nama besar ayahnya untuk meraih jabatan atau demi kepentingan politiknya. Lintang semakin merasa muak dengan itu semua.

Diam-diam Lintang memendam cita-cita besar yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh orang-orang disekitarnya selama ini. Tanpa sepengetahuan ayahnya, tapi dengan restu dari sang ibu. Lintang berkeinginan masuk di Universitas Brawijaya. Sebenarnya Ia menginginkan masuk di UGM mengambil ilmu politik, namun ternyata takdir menuntunnya ke jalan yang lain. Ia masuk jurusan ilmu hukum.

Dengan berat hati, kyai Saud akhirnya mengijinkan putranya untuk menuntut ilmu di jalur yang berbeda. Ia tak mampu lagi membendung keinginan Lintang. Usia 18 Tahun, Lintang masuk kuliah. Kali ini Ia harus belajar lebih keras karena bukan ilmu agama lagi yang akan Ia pelajari tapi ilmu umum yang jauh lebih luas. Ia harus cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus yang benar-benar berbeda dengan lingkungannya selama ini. Bulan-bulan pertama cukup membuat Ia kelabakan karena selain harus menyesuaikan diri dengan kehidupan baru, juga harus mempelajari istilah-istilah baru yang sangat asing baginya.

Siang malam Ia berusaha keras belajar, untuk menambah pengalaman Ia ikut organisasi-organisasi kampus maupun di luar kampus. Seketika teman-temannya menjadi sangat banyak. Dari sanalah Lintang semakin sering bergaul dan berdiskusi tentang segala sesuatu. Lintang seperti masuk ke dalam dunia yang lain, kehidupan yang lebih merdeka. Ia mulai mengenal organisasi dan belajar berpolitik. Sedikit demi sedikit Ia mulai melahap buku-buku yang selama ini tidak pernah Ia baca, dari buku-bukunya Che Guevara, Karl Marx, Hegel, Tan Malaka, Iqbal sampai Nietzsche. Meski Lintang tetap mengidolakan Sultan Salahuddin, kini Ia mulai punya idola baru yaitu presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Ia suka sekali terhadap figur tokoh yang satu ini, dari wajahnya yang teduh, santun dan hidupnya yang sederhana tersimpan keberanian bak seekor singa di hatinya. Siap untuk mempertahankan martabat bangsa dan agamanya. Gaya kepemimpinannya dan kepeduliannya terhadap rakyatnya mirip sekali dengan sultan Salahuddin dan itu semua benar-benar membuat Lintang merasa takjub.

Perlahan, Lintang sang putra mahkota “Babur ulum” yang dulu dikenal sangat pendiam, seperti bermetamorfosa menjadi pribadi baru yang lebih berapi-api dengan pemikiran yang radikal. Ia bukan lagi seorang yang sekuler tapi sudah sangat bertolak belakang dari itu. Karena memang genius, Lintang dengan cepat memahami pemikiran-pemikiran radikal kaum garis kiri yang tak pernah Ia pikirkan sebelumnya. Ia seperti mengamini itu semua dan siap turut berjuang mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh kaum garis kiri selama ini. Tentu saja itu adalah hal yang sangat bertentangan dengan pemikiran ayahnya.

BERSAMBUNG...................

0 komentar: